MetroNews.co.id, Kepri – Pemerintah, DPR dan KPU, Bawaslu dan DKPP melakukan rapat terbatas ditengah pandemi virus Corona (Covid-19) terkait pelaksanaan Pilkada 2020. Akhirnya pelaksanaan Pilkada ditunda, 3 opsipun diberikan KPU. Pertama melalui mekanisme pelaksanaan Pilkada diakhir 2020, kedua dilakukan bulan Maret 2021 dan terakhir bulan September 2021. Opsi ini dinilai KPU sangat tepat dengan segala konsekuensinya.
Ditinjau dari sudut pandang anggaran, 3 opsi tersebut sangat wajar dilakukan pada bulan September 2021. Jika pun dipaksakan pelaksanaannya dilakukan pada bulan Desember 2020 atau Maret 2022. Tentu akan menimbulkan pertanyaan, apa jaminan jika dana tersebut akan dialokasi ke penanganan penyebaran virus Corona (Covid-19) ?
Implikasi Akibat Penundaan
4 tahapan penundaan memiliki dampak yang begitu luas. Selain penyelenggara ad hoc kena getahnya, yakni harus dinonaktifkan. Persoalan calon lewat perseorangan juga berdampak, tahapan verifikasi faktual menjadi tertunda. Untung saja Provinsi Kepulauan Riau dan Kabupaten Karimun tidak terdapat calon perseorangan.
Namun masalah lain timbul, soal DPT yang akan berubah dan paling prestisius soal pendanaan Pilkada seperti pertanyaan diatas. Dimana aturan teknis anggaran penanganan virus Corona dari Kemendagri belum juga keluar. Sama seperti diawal saat NPHD keluar dengan landasan teknisnya ialah Permendagri No. 54/2019. Maka pemindahan anggaran dari pelaksanaan Pilkada ke penanganan Covid-19 juga harus memiliki landasan hukum yang sama.
Butuh Kepastian Hukum
Ketentuan penundaan Pilkada tahun 2020 yang diatur dalam UU Pilkada, No. 10/2016 tidak mampu memberikan landasan hukum yang pasti terkait nomenklatur Pemilihan Lanjutan dan Pemilihan Susulan. Sebab penundaan diberlakukan secara nasional, berimplikasi terganggunya seluruh tahapan yang dimana berbagai daerah memiliki perbedaan penundaan tahapan.
Karena kebijakan tidak boleh parsial, hanya untuk daerah tertentu saja. Maka KPU perlu menyesuaikan seluruh tahapan termasuk tahapan pungut hitung yang awalnya direncanakan UU Pilkada pada tanggal 23 September. Dengan melakukan perubahan jadwal tahap pungut hitung (tanggal, bulan dan tahun), otomatis hal ini berdampak pada kekosongan hukum untuk merubahnya.
Tanpa payung hukum yang jelas, sehingga beramai-beramai para penyelenggara Pemilu serta pegiat Pemilu mendukung Presiden Joko Widodo untuk segera menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Karena menurut mereka terutama pengamat hukum menilai Perppu lebih pantas, pertama kebutuhan mendesak, kedua kekosongan hukum dan terakhir tidak mungkin berharap dengan parlemen untuk merevisi UU Pilkada No. 10/2016.
Kenapa Harus Perppu ?
Perppu dinilai mampu memberikan kepastian hukum dalam waktu yang cepat, karena tidak memungkinkan menunggu DPR rapat untuk merevisi UU Pilkada tersebut. Sebab Pemerintah tengah memberlakukan aturan Social Distancing serta terbentur juga dengan Prolegnas.
Sehingga Perppu adalah jalan keluar dalam mengatasi kemandekan hukum ditengah penyebaran virus Corona yang begitu masif. Kemudian setelah Perppu terbit, barulah aturan teknis soal tahapan Pilkada melalui produk hukum berupa PKPU akan keluar dan tahapan pun segera dimulai.
Muatan Materi Perppu
Perppu yang diharapkan menjadi sebuah angin segar dalam pelaksanaan Pilkada berikutnya yang telah ditunda, jangan sampai mudah rapuh dan keropos. Artinya rentan digugat oleh pegiat Pemilu karena ada frasa atau pihak yang merasa dirugikan. Namun ini hanya spekulasi, sebab Pemerintah sudah berpengalaman dalam hal ini, apalagi memiliki waktu tidak begitu sempit tapi lebih dari cukup untuk membentuk produk hukum yang berkualitas.
Kemudian soal jaminan anggaran yang telah dipakai perlu dituangkan dalam materi Perppu tersebut. Sangat krusial sekali dan selalu menjadi kunci sukses dalam sebuah pelaksanaan Pilkada, seperti dibelahan Indonesia bagian timur. Dimana salah satu kabupaten hingga kini salah satu penyelenggara ad hoc belum juga mendapatkan haknya. Sangat miris sekali. Berkaca dari hal tersebut, perlu ada muatan materi soal antisipasi jika macetnya anggaran di daerah.
Rakyat Butuh Pendidikan Politik
Para pegiat Pemilu juga tidak ketinggalan untuk memberikan rekomendasi soal masyarakat yang butuh informasi terkait Pilkada. Media ramai memberitakan soal virus Corona minggu-minggu ini, namun jangan sampai terlupakan informasi serta perkembangan segala dinamika yang terjadi soal Pilkada.
Paling penting adalah Informasi yang mendidik untuk pemilih, karena Pilkada akan berjalan baik jika pemilihnya memiliki pengetahuan lebih serta aktif dari gerakan simbiosis mutualisme tersebut. Kemudian penyelenggara turut responsif jika ada masyarakat ingin mengetahui perkembangan perhelatan Pilkada di daerah. Salah satunya peranan media Humas yang tugas pokoknya untuk tetap menjadi sumber ilmu pendidikan politik untuk masyarakat luas.
Penulis : Rudi Saputra ( Alumni Kader Pengawasan Partisipatif Pemilu Angkatan II Bawaslu RI )